Archives

Post

Kuatkan Iman dulu

SYARAT TINGGAL DI NEGRI KAFIR

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin




Untuk melengkapi penjelasan ini perlu saya sebutkan hukum bepergian ke negara kafir. Saya katakan, bepergian ke negeri kafir tidak diperbolehkan kecuali telah memenuhi tiga syarat :

Pertama : Hendaknya Seseorang Memiliki Cukup Ilmu Yang Bisa Memelihara Dirinya Dari Syubhat.

Kedua : Hendaknya Memiliki Agama Yang Kuat Untuk Menjaga Agar Tidak Terjatuh Dalam Syahwat.

Ketiga : Hendaknya Ia Benar-Benar Berkepentingan Untuk Bepergian.

Bagi yang belum bisa menyempurnakan syarat-syarat di atas tidak diperbolehkan pergi ke negeri kafir, karena hal itu akan menjatuhkan dirinya ke dalam fitnah yang besar dan menyia-nyiakan harta saja. Sebab orang yang mengadakan bepergian biasanya membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Jika ada suatu keperluan seperti berobat, mempelajari ilmu yang tidak ditemukan di negeri asal, maka hal itu diperbolehkan dengan catatan memenuhi syarat yang saya sebutkan di atas. Adapun masalah rekreasi ke negeri kafir, bukanlah suatu kebutuhan, karena ia bisa saja pergi ke negeri Islam yang menjaga syari'at Islam. Negeri kita ini, alhamdulillah ada beberapa tempat yang cocok dan bagus untuk dibuat rekreasi ketika masa liburan.

.....
Bagi pelajar yang ingin tinggal di negeri kafir, di samping memenuhi dua syarat yang sudah disebutkan di atas, ia harus memenuhi syarat-syarat di bawah ini.

Pertama.
Seorang yang hendak belajar memiliki kematangan berfikir, bisa memisahkan antara yang bermanfaat dan yang mudharat serta berwawasan jauh ke depan. Adapun pengiriman para pemuda belia yang masih dangkal pemikirannya, maka hal itu sangat berbahaya bagi aqidah, akhlaq, dan moral mereka, juga berbahaya bagi umat Islam. Di saat mereka pulang ke negerinya, mereka akan menyebarkan racun pemikiran yang mereka ambil dari orang-orang kafir, seperti telah banyak kita saksikan. Para pelajar yang dikirim ke negeri kafir itu berubah sekembali mereka ke negeri masing-masing. Mereka pulang dalam keadaan rusak agama, akhlaq, moral serta pemikirannya, hal yang sangat berbahaya bagi diri mereka sendiri serta masyarakat. Itulah yang kita saksikan secara nyata dan riil. Pengiriman para pelajar seperti mereka ke negeri kafir bagaikan kita menyajikan daging segar kepada anjing yang lagi kelaparan.

Kedua.
Seorang yang mau belajar hendaknya memiliki ilmu syari'at yang cukup, agar ia mampu membedakan antara yang benar dengan yang batil, mampu mencerna dan menghindar dari kebatilan agar ia tidak tertipu olehnya sehingga menyangka bahwa hal tersebut benar, atau merasa ragu dan kabur, atau tidak mampu melawan kebatilan tersebut akhirnya menjadi bimbang atau hanyut oleh arus kebatilan.

Dalam sebuah do'a disebutkan :

"Artinya : Ya Allah perlihatkan kepadaku kebenaran sebagai suatu yang benar lalu berikan kepadaku kekuatan untuk mengikutnya, dan perlihatkanlah kepadaku kebatilan sebagai yang batil dan berikan padaku kekuatan untuk menghindarinya dan janganlah Engkau kaburkan sehingga saya tersesat".

Ketiga.
Hendaknya seseorang yang mau belajar memiliki agama yang kuat sehingga bisa membentengi diri dari kekufuran dan kefasikan. Sebab orang yang lemah agamanya tidak mungkin selamat untuk tinggal di negeri kafir tersebut, kecuali yang dikehendaki Allah. Hal itu dikarenakan kuatnya serangan dan pengaruh, sementara yang bersangkutan tidak mampu mengadakan perlawanan. Banyak sekali hal-hal yang menimbulkan kekafiran dan kefasikan. Jika orang tersebut lemah agamanya, tidak memiliki kekuatan untuk melawan pengaruh tersebut, maka dengan mudah kekufuran mempengaruhinya.

Keempat.
Ia belajar untuk mengkaji ilmu yang sangat bermanfaat bagi umat Islam yang tidak ditemukan di sekolah-sekolah dalam negeri mereka. Jika ilmu tersebut kurang bermanfaat bagi umat Islam atau bisa di dapat di sekolah-sekolah dalam negeri mereka, maka tidak diperbolehkan tinggal di negeri tersebut untuk tujuan belajar. Karena hal itu sangat berbahaya bagi agama, akhlaq, dan moral mereka. Juga hanya menghambur-hamburkan harta saja dengan tidak ada gunanya.

Kelima.
Ia tinggal di negeri kafir untuk selamanya sebagai penduduk asli, ini lebih bahaya dari sebelumnya, karena kerusakan akibat berbaur dengan orang-orang kafir. Sebagai warga negara yang disiplin ia harus mampu hidup bersama-sama dengan anggota masyarakat secara harmonis, saling mencintai dan tolong menolong di antara sesama. Ia juga memperbanyak penduduk negara kafir. Ia terpengaruh dengan adat kebiasaan orang kafir dalam mendidik dan mengarahkan keluarganya yang mungkin akan mengikuti aqidah dan cara ibadahnya.

Oleh karena itu Nabi bersabda : "Barangsiapa berkumpul dan tinggal bersama orang musyrik, maka ia akan seperti mereka" [1]. Hadits ini walaupun dha'if dalam sanad-nya tapi isinya perlu mendapat perhatian. Karena kenyataan berbicara, orang yang tinggal di suatu tempat dipaksa untuk menyesuaikan diri.

Dari Qais bin Abi Hazim, dari Jarir bin Abdullah sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : " Saya berlepas diri dari seorang muslim yang tinggal bersama-sama dengan orang-orang musyrik" Mereka bertanya : "Kenapa wahai Rasulullah ?" Beliau menjawab : "Tidak boleh saling terlihat api keduanya"[2]. Hadits ini di riwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi dan kebanyakan para perawi meriwayatkan hadits ini secara mursal dari jalan Qais bin Abi Hazim dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tirmidzi berkata : "Saya mendengar Muhammad (yang dimaksud Al-Bukhari) berkata bahwa hadits Qais dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam diriwayatkan secara mursal".

Bagaimana seorang muslim merasa tenang hidup dan bertempat tinggal di negeri kafir yang secara terang-terangan syi'ar kekafiran itu dikumandangkan dan hukum yang diterapkan adalah hukum thagut yang memusuhi hukum Allah dan RasulNya, semua itu ia lihat dan ia dengar dengan perasaan rela. Ia merasa tentram tinggal di negeri tersebut layaknya hidup di negeri kaum muslimin dengan keluarganya, padahal ini sangat berbahaya bagi agama dan akhlak keluarga serta anak-anak mereka.

Demikianlah yang bisa saya paparkan tentang hukum tinggal di negeri kafir. Saya mohon kepada Allah agar penjelasan saya ini sesuai dengan kebenaran.

[Disalin dari buku Syrhu Tsalatsatil Ushul, edisi Indonesia Penjelasan Kitab Tiga Landasan Utama, oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin terbitan Darul Haq hal 228-231, penerjemah Zainal Abidin Syamsudin, Ainul Haris Arifin]
_________
Foote Note.
[1]. Diriwayatkan oleh Abu Daud, Kitabul Jihad, bab "Tinggal di Negeri Orang-Orang Musyrik
[2]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Kitabul Jihad, bab "Larangan Membunuh Orang yang Menyelamatkan Diri Dari Bersujud", dan At-Tirmidzi, Kitabus Siar, bab "Makruhnya Tinggal Di Antara Orang-Orang Musyrik"


Post

Dari inbox emailku

[assunnah] >>Penyimpangan Seputar Shalat 'Id<<
...
From: Abu Abdillah <abdullah_abu@hotmail.com>
...
Add to Contacts
To: assunnah assunnah
________________________________________

PENYIMPANGAN SEPUTAR SHALAT ‘ID (*)
Oleh
Redaksi Majalah As-Sunnah
Penyimpangan Seputar Sholat



Perhelatan melelahkan dalam menyongsong datangnya hari raya terjadi
dimana-mana. Sebagian kaum muslimin larut dengan kesibukan yang banyak
menyita waktu, tenaga dan biaya. Tak segan-segan, uangpun dikeluarkan
tanpa rasa berat. Yang penting -menurut mereka- hari raya dapat dilalui
dengan lebih berarti.

Kebiasaan seperti ini, pada setiap tahun bisa kita saksikan, hampir
selalu mewarnai saat menjelang hari raya. Seakan kesibukan tersebut
merupakan keharusan yang tidak dapat ditinggalkan oleh sebagian umat
Muhammad n . Akan tetapi, disini lain, pada saat menjelang hari raya,
banyak hal lebih penting yang dilalaikan.

Merebaknya kemungkaran banyak diremehkan oleh sebagian umat ini telah
mengharu biru hari mulia ini. Beberapa kemungkaran itu, ada yang sudah
sering terjadi di luar hari raya, dan bertambah parah ketika hari raya
tiba. Misalnya, seperti menghias diri dengan mencukur jenggot,
bersalam-salaman dengan wanita yang bukan mahramnya, tabarruj (pamer
kecantikan), menyerupai orang kafir dalam berpakaian dan menikmati
musik, mengkhususkan waktu untuk ziarah kubur, serta membagikan makanan
dan permen, duduk-duduk di atas kuburan, menghamburkan harta yang tidak
ada faidahnya, dan masih banyak lagi yang lainnya. Semua ini menodai
hari raya yang mulia ini.

Namun, dalam pembahasan kali ini, kami tidak akan mengupas persoalan
tersebut di atas. Akan tetapi, kami akan fokuskan pada beberapa
kesalahan dalam pelaksaan shalat ‘Id. Mudah-mudahan hal ini bisa
menggugah kesadaran kita untuk lebih berhati-hati. Mendorong kita agar
lebih bersemangat mendatangi majelis-majelis ilmu, bertanya kepada
‘alim, serta membaca kitab-kitab para ulama, sehingga bisa terhindar
dan tidak terjebak dalam kebiasaan-kebiasaan yang salah. Apalagi
kesalahan itu seakan sudah membudaya.

Diantara kesalahan-kesalahan yang sering terjadi dalam pelaksanaan shalat ‘Id, ialah sebagai berikut:

A. SEBAGIAN ORANG MEREMEHKAN SHALAT ‘ID DAN MENGANGGAPNYA SUNAT, SERTA TIDAK MENUNAIKANNYA DI LAPANGAN
Imam Asy Syaukani mengatakan; “Ketahuilah, Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam selalu mengerjakan shalat ini pada dua hari raya (‘Idul Fithri
dan Adh-ha). Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah
meninggalkannya, meskipun hanya sekali. Beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam memerintahkan kepada kaum muslimin untuk keluar shalat,
sampai-sampai memerintahkan kepada para wanita, baik budak, wanita
pingitan dan wanita yang sedang haid agar keluar. Beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam memerintahkan kepada yang haid agar menjauhi tempat
shalat, menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum muslim. Sampai-sampai
diperintahkan kepada wanita yang memiliki jilbab, agar meminjami
saudaranya yang tidak memiliki jilbab. Semua ini menunjukkan, bahwa
shalat ‘Id wajib bagi setiap orang (fardhu ‘ain, Red), bukan fardlu
kifayah”. [As Sailur Jarar, 1/315].

Aku (Syaikh Masyhur Hasan Salman) mengatakan: “(Dalam penjelasan di
atas, Red), Imam Asy Syaukani mengisyaratkan kepada hadits Ummu Athiyah
Radhiyallahu 'anha yang mengatakan:

"Rasulullah memerintahkan kepada kami untuk mengeluarkan para wanita
pada ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adh-ha, yaitu para budak, wanita yang
sedang haid serta wanita pingitan. Adapun wanita yang sedang haid
keluar dari shalat. (dalam riwayat yang lain dari lapangan) dan
menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum muslimin. Aku (Ummu Athiyah)
mengatakan: “Wahai, Rasulullah. Salah seorang diantara kami tidak
memiliki jilbab”. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda,”Hendaklah saudaranya memakaikan jilbabnya kepada saudaranya
yang tidak memiliki jilbab.”[1]

Perintah Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam agar keluar, berarti
perintah untuk shalat bagi yang tidak memiliki udzur. Ini berdasarkan
maksud dari pembicaraan. Karena keluar ke mushalla (lapangan) merupakan
washilah (sarana) untuk shalat. (Jika) wasilahnya wajib, maka akan
menyebabkan tujuan dari washilah itu juga menjadi wajib. Dan kaum pria
lebih wajib daripada wanita. (Lihat Al Mau’izhah Al Hasanah, 43).

Diantara dalil yang menunjukkan wajibnya shalat dua hari raya, bahwa
shalat ‘Id bisa menggugurkan (bisa mengganti, Red) shalat Jum’at
apabila bertepatan pada hari yang sama. Terdapat riwayat yang sah dari
Rasulullah, bahwa Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda ketika
hari raya bertepatan dengan hari Jum’at.

"Pada hari kalian ini, terkumpul dua hari raya. Barangsiapa yang ingin
(tidak shalat Jum’at), maka ia telah mencukupinya dari shalat Jum’at.
Dan kita mengumpulkan shalat hari raya dan Jum’at, dan kami akan tetap
shalat Jum’at."[2]

Sudah kita ketahui, sesuatu yang hukumnya tidak wajib, tidak akan bisa
menggugurkan sesuatu yang wajib. Terdapat riwayat yang sah, sejak
shalat ‘Id disyari’atkan, Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam selalu
mengerjakan shalat ‘Id secara berjama’ah hingga sampai wafatnya.
Perbuatan Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam yang selalu mengerjakan
shalat ‘Id digabungkan dengan perintahnya kepada manusia untuk keluar
shalat ‘Id. Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah (24/212, 23/161) serta Ar
Raudah An Nadiyah (1/142), Nailul Authar (3/282-283) dan Tamamul
Minnah, 344. Dan wajibnya shalat ‘Id, merupakan pilihan dari Syaikh
Islam Ibnu Taimiyah. Beliau mengatakan: “Kami menganggap rajih
(menguatkan) pendapat yang menyatakan shalat ‘Id itu hukumnya wajib
bagi setiap orang, sebagaimana ucapan Abu Hanifah dan lainnya. Begitu
juga salah satu pendapat Imam Asy Syafi’i, dan salah satu diantara dua
pendapat dalam madzhab Imam Ahmad.

Adapun ucapan yang mengatakan, “Shalat ‘Id tidak wajib”, merupakan
ucapan yang sangat jauh dari kebenaran. Sesungguhnya shalat ‘Id
merupakan syi’ar Islam yang sangat besar, dan manusia yang berkumpul
untuk melakukan shalat ‘Id lebih besar daripada shalat Jum’at. Pada
hari ini, disyari’atkan takbir. Dan pendapat orang yang mengatakan
“Shalat ‘Id fardhu kifayah”, perkataan ini tidak memiliki dasar yang
kuat. (Majmu’ Fatawa, 23/161).

Disini, sejenak kita merenungi perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam dalam hadits Ummu Athiyah terdahulu. Di dalamnya terdapat
perintah bagi para wanita yang sedang haid dan para wanita budak untuk
menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum muslimin. Dari hadits ini dapat
diambil dua hukum fiqih:

1). Disyari’atkan kepada para wanita untuk keluar menghadiri shalat ‘Id.
Kami menganjurkan kepada para wanita untuk menghadiri jama’ah kaum
muslimin, sebagai realisasi perintah Rasulullah n . Tidak lupa kami
ingatkan mereka, dan juga para penanggungjawab mereka mengenai
kewajiban mengenakan hijab syar’i. Terkadang sebagian orang merasa
heran terhadap syari’at keluarnya wanita ke lapangan untuk shalat ‘Id.

Ketahuilah, inilah kebenaran yang tidak ada keraguan di dalamnya.
Karena, banyak hadits menerangkan hal ini. Disini, kami cukupkan dengan
hadits Ummu Athiyah di atas. Hadits ini bukan hanya sebagai dalil
disyari’atkannya shalat saja. Bahkan lebih dari itu, yaitu menandakan
wajibnya shalat atas para wanita, karena perintah Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan hukum asal dalam perintah adalah
wajib. Ini dikuatkan dengan riwayat Ibnu Abi Syaibah dan Abu Bakar
Radhiyallahu 'anhu.

"Benar, bagi setiap orang yang memiliki sayak (rok), keluar untuk shalat ‘Id"[3]

2). Shalat dua hari raya tempatnya di lapangan, bukan masjid -meskipun boleh di masjid.
Dari sisi lain, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam amat
menganjurkan kepada para wanita haidh agar menghadiri shalat ‘Id,
sementara masjid tidak layak diisi para wanita haid. Apabila masjid
tidak boleh mereka kunjungi ketika haid, maka hanya lapangan yang boleh
mereka hadiri. Hal ini dijelaskan dalam banyak hadits, seperti dari Abu
Said Al Khudri Radhiyalahu 'anhu, dia berkata:

"Dahulu, Rasulullah n keluar ke mushalla (lapangan) pada hari raya
‘Idul Fithri dan Adh-ha. Dan hal pertama kali yang Beliau n kerjakan
adalah shalat (ied)".[4]

Ibnu Al Hajj Al Maliki mengatakan: “Sunnah yang telah berjalan dalam
masalah dua shalat ied ini, ialah dikerjakan di lapangan. Karena, Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Shalat di masjidku ini lebih utama seribu kali dari pada shalat di masjid selainnya, kecuali Masjidil Haram" [5]

Meskipun shalat di Masjid Nabawi sangat besar keutamaannya, namun
Beliau n (tetap) keluar menuju lapangan dan meninggalkan masjidnya. (Al
Madkhal, 2/283). Perbuatan berdasarkan sunnah ini berjalan terus pada
masa-masa awal, terkecuali terpaksa, seperti turun hujan dan yang
semisalnya. Demikian pendapat empat imam madzhab (Hanafi, Malik,
Syafi’i dan Ahmad) serta yang lainnya.

Juga, sunnah ini (shalat di lapangan) memiliki hikmah yang besar. Yakni
kaum muslimin memiliki dua hari (istimewa) dalam setahun. Pada hari
ini, penduduk semua negeri (suatu daerah) berkumpul, baik pria, wanita
maupun anak-anak. Mereka menghadap kepada Allah dengan sepenuh hati.
Mereka terhimpun dengan satu kalimat, shalat di belakang satu imam,
bertakbir, bertahlil dan berdo’a kepada Allah Azza wa Jalla dengan
penuh ikhlas. Seakan mereka sehati. Mereka bersuka ria, bergembira
dengan nikmat Allah Azza wa Jalla kepada mereka. Sehingga hari raya
merupakan hari bahagia.

Semoga kaum muslimin memberikan tanggapan positif untuk meniti sunnah
nabi mereka, menghidupkan syi’ar agama yang menjadi syarat kemuliaan
(kewibawaan) dan keberuntungan mereka.

"Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul
apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada
kamu" [QS Al Anfal:24]

B. TIDAK MENGERASKAN TAKBIR KETIKA MENUJU LAPANGAN
Dari Az Zuhri rahimahullah, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam biasa keluar pada hari raya dan bertakbir hingga sampai ke
lapangan, dan hingga selesai shalat. Apabila telah selesai, Beliau n
menghentikan takbir.[6]

Dalam hadits ini terdapat dalil disyari’atkannya perbuatan yang
dilakukan oleh sebagian kaum muslimin, yaitu takbir dengan keras ketika
berjalan menuju lapangan. Kebanyakan umat mulai meremehkam sunnah ini,
hingga sekarang ini seakan sudah menjadi cerita masa lampau (dan hampir
tidak bisa ditemukan lagi-red). Ini disebabkan karena lemahnya agama
mereka, serta malu untuk mengaku dan menampakkan sunnah ini.

Ironisnya, diantara mereka ada yang bertugas memberi bimbingan serta
mengajarkan kepada manusia. (Namun) seakan bimbingannya dalam pandangan
mereka terbatas pada transfer ilmu guru kepada manusia. Adapun sesuatu
yang sangat dibutuhkan untuk diketahui, ini tidak mendapatkan perhatian
mereka. Bahkan mereka menganggap pembahasan serta pemberian peringatan
dalam masalah ini, baik dengan perkataan maupun perbuatan sebagai
perbuatan sia-sia, yang tidak pantas untuk diperhatikan dalam tindakan
dan pengajaran. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un.

Yang perlu mendapatkan perhatian disini, yaitu dalam mengumandangkan
takbir tidak disyari’atkan secara bersama dengan satu suara,
sebagaimana dilakukan oleh sebagian orang. Demikian halnya dengan
dzikir yang disyari’atkan dengan suara keras ataupun yang tidak
disyari’atkan dengan suara keras. Ini semua tidak disyari’atkan secara
berjama’ah. Dan yang semisalnya dengan ini, ialah adzan berjama’ah
sebagaimana dikenal di Damaskus dengan nama Adzan Al Juuq. Sering kali,
dzikir berjama’ah (dengan satu suara) menjadi sebab pemutusan satu kata
ataupun kalimat, yang semestinya tidak boleh waqaf (berhenti) pada kata
atau kalimat tersebut, seperti “lailaha” dalam tahlil selepas shalat
Subuh dan Maghrib, sebagaimana hal itu berulang kali kita dengar.

Oleh karena itu, hendaknya kita senantiasa waspada dan selalu ingat sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam

"Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam".

C. MENGANGKAT TANGAN DALAM SETIAP TAKBIR SHALAT ‘ID
Tidak ada riwayat sah dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang
menyatakan Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengangkat tangan
ketika takbir dalam shalat ‘Id. Akan tetapi Ibnul Qayyim mengatakan:
“Dan Ibnu Umar –padahal ia sangat antusias mengikuti Sunnah Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam - mengangkat kedua tangannya bersamaan
dengan setiap takbir”. (Zaadul Ma’ad, 1/441). Dan sebaik-baik petunjuk
adalah petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam , meskipun hadits
ini diriwayatkan Ibnu Umar dan bapaknya Radhiyallahu 'anhuma, namun
tidak akan menjadikannya sebagai sunnah. Terlebih lagi riwayat tersebut
tidak benar.

Syaikh Al Albani mengatakan: “Adapun riwayat dari Umar, ini
diriwayatkan oleh Baihaqi dengan sanad yang lemah. Sedangkan riwayat
dari Ibnu Umar, aku belum mendapatkannya. Dan sesungguhnya Imam Malik
mengatakan,’ aku belum mendengar satu haditspun tentang hal ini’.”
[Tamamul Minnah, hlm. 349].

Demikian pendapat Imam Malik sebagaimana terdapat dalam Al Madunah
(1/169). Dan pendapat ini dinukil oleh Imam Nawawi dalam Majmu’ (5/26).
Hanya saja Ibnu Mundzir menceritakan: “Imam Malik mengatakan,’Dalam hal
ini, tidak ada sunnah yang pasti. Barangsiapa ingin, maka ia mengangkat
tangannya setiap kali takbir. Dan yang paling aku sukai, yaitu yang
pertama (tidak mengangkat tangan)’.”

D. SHALAT SUNNAH QABLIYAH SEBELUM SHALAT ‘ID DAN UCAPAN “AS SHALAT JAAMI’AH” SEBELUM BERDIRI UNTUK SHALAT
Pemandangan mayoritas di negeri muslim, orang-orang yang hadir shalat
‘Id di lapangan melakukan shalat dua raka’at sebelum duduk di
tempatnya, untuk menunggu berdirinya imam untuk shalat. Shalat dua
raka’at ini tidak ada asalnya dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam,
bahkan ada riwayat dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu

"Bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat dua raka’at pada hari
raya. Beliau tidak shalat dua raka’at sebelum maupun sesudahnya" [HR.
Bukhari dan Muslim]

Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan: “Kesimpulannya, tidak ada shalat sunat
sebelum dan sesudah shalat ‘Id, berbeda dengan orang yang
mengkiaskannya (menyamakan shalat ‘Id) dengan shalat Jum’at”. [Fath-hul
Bari, 2/476].

Imam Ahmad mengatakan: “Tidak ada shalat sunnat sebelum dan sesudah
‘Id”. (Masail Al Imam Ahmad, no. 469). Dan ia berkata pula: “Tidak ada
shalat sunnat sebelum dan sesudah ‘Id. Nabi keluar shalat ‘Id tidak
melakukan shalat sebelum maupun sesudahnya. Sebagian penduduk Bashrah
melakukan shalat sebelumnya, dan sebagian penduduk Kuffah mengerjakan
shalat sunnat setelahnya”. [Masail Al Imam Ahmad, no. 479]

Ibnul Qayyim mengatakan: “Beliau n dan para sahabatnya g tidak
melakukan shalat sunat sebelum dan sesudah shalat ‘Id ketika telah
sampai di lapangan”. (Zaadul Ma’ad, 1/443). Apabila Nabi n telah sampai
di lapangan, Beliau melakukan shalat ‘Id tanpa adzan dan iqamat, dan
tanpa ucapan “ash shalatu jami’ah”. Dan merupakan sunnah, tidak
mengerjakan dari hal itu sedikitpun. (Zaadul Ma’ad, 1/442 dan At
Tamhid, 1/243).

E. MENGHIDUPKAN MALAM HARI RAYA
Banyak khatib dan penceramah giat menganjurkan manusia untuk
mendekatkan diri kepada Allah, yaitu dengan menghidupkan malam hari
raya. Padahal, anjuran mereka ini tidak ditemukan sandaran yang shahih.

Mereka tidak cukup hanya dengan menganjurkan manusia untuk menghidupkan
malam ini. Bahkan mereka (berani) menisbatkan (menyandarkan) ucapan
tersebut kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan
menggunakan dalil-dalil:

"Barangsiapa menghidupkan malam ‘Idul Fithri dan Adh-ha, hatinya tidak akan mati di hari matinya hati-hati manusia" [7].

Riwayat di atas merupakan hadits palsu, dan tidak boleh dinisbatkan
kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, apalagi beramal
dengannya dan menyerukan manusia untuk melakukannya.

F. PEMBUKAAN KHUTBAH DENGAN TAKBIR SERTA BANYAK MENGUCAPKAN TAKBIR DALAM KHUTBAH
Ibnul Qayyim mengatakan: “Rasulullah n selalu membuka khutbahnya dengan
memuji Allah. Tidak ada riwayat dalam satu hadits pun bahwa Beliau
memulai khutbah dua id dengan takbir. Hanya saja, Ibnu Majah
meriwayatkan dalam Sunan-nya dari Sa’ad Al Qardhi, bahwasanya Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam memperbanyak takbir di tengah-tengah
khutbah, serta memperbanyak takbir dalam khutbah dua hari raya.

Namun riwayat ini tidak menunjukkan bila Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengawali khutbah dengan takbir.

Orang-orang telah berselisih dalam masalah pembukaan dua hari raya
serta istisqa. Ada yang mengatakan “khutbah ‘id dan istisqa dimulai
dengan takbir”, dan ada pula yang mengatakan “khutbah istisqa diawali
dengan istighfar”, dan ada pula yang mengatakan “keduanya diawali
dengan hamdalah”.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: “(Mengawali khutbah dengan hamdalah), itulah yang benar”. [Zaadul Ma’ad, 1/447-448].

Syaikh Masyhur, mengatakan: “Hadits terdahulu lemah. Dalam sanadnya,
terdapat seorang yang lemah. Yaitu Abdurrahman bin Sa’ad bin Ammar bin
Sa’ad Al Muadzan. Yang terakhir majhul (tidak dikenal), yaitu Sa’ad bin
Ammar. Sehingga tidak boleh berhujjah akan sunnatnya takbir di
tengah-tengah khutbah dengan hadits tersebut”. [Tamamul Minnah, 351]

G. MENJADIKAN ‘ID DENGAN DUA KHUTBAH DAN DIPISAH DENGAN DUDUK
Semua riwayat yang ada berkaitan dengan masalah ini lemah, tidak bisa
dijadikan hujjah. Imam Nawawi rahimahullah mengatakan: “Tidak ada
satupun riwayat yang sah dalam masalah pengulangan khutbah”. [Lihat
Fiqh Sunnah, 1/223 dan Tamamul Minnah, 348]

Demikian beberapa persoalan berkaitang dengan penyimpangan yang lazim
terjadi pada pelaksanaan hari raya ‘Id. Semoga bermanfaat. Wallahu
a’lam.

*) Disadur dan diringkas dari kitab Al Qaulul Mubin Fi Akhtha’ Al
Mushallin, karya Syaikh Masyhur Hasan Salman, dengan beberapa tambahan.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun X/1427H/2006.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_________
Footnotes
[1]. Dikeluarkan oleh Bukhari dalam Shahih-nya, no. 324, 971, 974, 980,
981, 1,652 serta Muslim dalam Shahih-nya, no. 980; Ahmad dalam Musnad
(5/84,85); An Nasa’i dalam Al Mujtaba (3/180); Ibnu Majah dalam Sunan,
no. 1.307 dan Tirmidzi dalam Al Jami’, no. 539.
[2]. Dikeluarkan oleh Al Faryabi dalam Ahkam Al ‘Idain, no. 150; Abu
Dawud dalam Sunan, no. 1.073; Ibnu Majah dalam Sunan, no. 1.311 dan
yang lainnya. Hadits ini shahih berdasarkan syawahidnya (penyertanya).
[3]. Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al Musnaf (2/184) dengan
sanad yang shahih. Lihat Risalah Shalat ‘Idain Fil Mushalla Hiya
Sunnah, hlm. 12-13.
[4]. Dikeluarkan Al Bukhari dalam Shahih, no. 956 dan Muslim dalam Shahih, no. 889 dan lainnya.
[5]. Dikeluarkan Imam Muslim
[6]. Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al Musnaf (2/165) dan Al
Faryabi dalam Ahkam ‘Idain, no. 59 dan sanad-sanadnya shahih. Meski
mursal namun syahid (penyerta) menyambung, menurut Al Baihaqi dalam
Sunan Al Kubra (3/279). Lihat Silsilah Ahadits Ash Shahihah, no.171.
[7]. Pembahasan mengenai hadits ini bisa dilihat di silsilah al ahadits ad dhaifah no. 520


------------------------------------

BERTEPATANNYA HARI IED DENGAN HARI JUM'AT

Oleh
Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Atsari
http://www.almanhaj .or.id/content/ 1176/slash/ 0

Telah meriwayatkan Abu Daud (1070), An-Nasa'i (3/194), Ibnu Majah
(1310), Ibnu Khuzaimah (1461), Ad-Darimi (1620) da Ahmad (4/372) dari
Iyas bin Abi Ramlah Asy-Syami ia berkata.

"Aku menyaksikan Mua'wiyah bin Abi Sufyan bertanya kepada Zaid bin
Arqam, ia berkata : "Apakah engkau pernah menyaksikan bersama
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertemunya dua hari raya pada
satu hari ?"

Zaid berkata : "Ya"

Mu'awiyah berkata : "Lalu apa yang beliau lakukan ?"

Zaid menjawab : "beliau shalat Id kemudian memberi keringanan (rukhshah) untuk shalat Jum'at, beliau bersabda :

"Siapa yang ingin shalat maka shalatlah"[1]

Abu Hurairah dan selainnya membawakan riwayat tentang hal ini dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Dan ini yang diamalkan para sahabat radhiyallahu 'anhum.

Abdurrazzaq meriwayatkan dalam "Al-Mushannaf" (3/305) dan juga Ibnu Abi
Syaibah dalam "Al-Mushannaf" (2/187) dengan sanad yang shahih dari Ali
Radhiyallahu 'anhu, bahwasanya berkumpul dua hari raya pada satu hari,
maka ia berkata :

"Artinya : Siapa yang ingin menghadiri shalat Jum'at maka hadirilah dan siapa yang ingin duduk maka duduklah"

Dalam "Shahih Bukhari" (5251) disebutkan riwayat semisal ini dari Utsman Radhiyallahu 'anhu.

Dalam "Sunan Abi Daud" (1072) dan "Mushannaf Abdurrazaq" (nomor 5725) dengan sanad yang Shahih dari Ibnuz Zubair.

"Artinya : Dua hari raya bertemu dalam satu hari, maka ia mengumpulkan
keduanya bersama-sama dan menjadikannya satu. Ia shalat Idul Fitri pada
hari Jum'at sebanyak dua raka'at pada pagi hari, kemudian ia tidak
menambah hingga shalat Ashar..."

Asy-Syaukani berkata dalam "Nailul Authar" (3/348) mengikuti riwayat ini :

"Dhahir riwayat ini menunjukkan bahwa ia tidak mengerjakan shalat Dhuhur.

Dalam riwayat ini menunjukkan bahwa shalat Jum'at jika gugur dengan
salah satu sisi yang diperkenankan, maka tidak wajib bagi orang yang
gugur darinya untuk mengerjakan shalat dhuhur. Dengan ini Atha'
berpendapat.

Tampak bahwa orang-orang yang berkata demikian karena Jum'at adalah
pokok. Dan engkau tahu bahwa yang diwajibkan oleh Allah Ta'ala bagi
hamba-hamba- Nya pada hari Jum'at adalah shalat Jum'at, maka mewajibkan
shalat Dhuhur bagi siapa yang meninggalkan shalat Jum'at karena udzur
atau tanpa udzur butuh dalil, dan tidak ada dalil yang pantas untuk
dipegang sepanjang yang aku ketahui"

[Disalin dari Kitab Ahkaamu Al-Iidaini Fii Al-Sunnah Al-Muthahharah,
edisi Indonesia Hari Raya Bersama Rasulullah, oleh Syaikh Ali Hasan bin
Ali Abdul Hamid, Al-Atsari, terbitan Pustaka Al-Haura, penerjemah Ummu
Ishaq Zulfa Husein]


_________Oleh Para Ulama Islam
• Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah
Pertanyaan : Jika datang ‘Idul Fithri pada hari Jum’at apakah boleh bagiku untuk shalat ‘Id namun aku tidak shalat Jum’at, atau sebaliknya?
Jawab : Apabila Hari Raya bertepatan dengan hari Jum’at maka barangsiapa yang telah menunaikan shalat ‘id berjama’ah bersama imam gugur darinya kewajiban menghadiri shalat Jum’at, dan hukumnya bagi dia menjadi sunnah saja. Apabila dia tidak menghadiri shalat Jum’at maka tetap wajib atasnya shalat zhuhur. Ini berlaku bagi selain imam.
Adapun imam, tetap wajib atasnya untuk menghadiri Jum’at dan melaksanakannya bersama kaum muslimin yang hadir. Shalat Jum’at pada hari tersebut tidak ditinggalkan sama sekali.
(Al-Muntaqa min Fatawa Al-Fauzan VIII/44)
* * *
• Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhuts Al-‘Ilmiyyah wa Al-Ifta`
Fatwa no. 2358
Pertanyaan : Pada tahun ini bertemu dalam sehari dua hari raya, yaitu : Hari Jum’at dan ‘Idul Adh-ha. Manakah yang benar : Kita tetap melaksanakan shalat zhuhur jika kita tidak shalat Jum’at, ataukah kewajiban shalat zhuhur gugur apabila kita tidak shalat Jum’at?
Jawab : Barangsiapa yang melaksanakan shalat ‘Id bertepatan dengan hari Jum’at, maka dia diberi rukhshah (keringanan) untuk meninggalkan shalat Jum’at pada hari tersebut, kecuali imam. Adapun imam, tetap wajib atasnya menegakkan shalat Jum’at bersama kaum muslimin yang hadir shalat Jum’at, baik yang sudah shalat ‘Id maupun tidak shalat ‘Id. Apabila tidak ada seorang pun yang hadir, maka gugurlah kewajiban Jum’at darinya, dan dia melaksanakan shalat Zhuhur.
(Para ‘ulama yang berpendapat demikian) berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab Sunan-nya dari Iyas bin Abi Ramlah Asy-Syami berkata :
« شهدت معاوية بن أبي سفيان وهو يسأل زيد بن أرقم قال: أشهدت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم عيدين اجتمعا في يوم؟ قال: نعم، قال: فكيف صنع؟ قال: صلى العيد ثم رخص في الجمعة، فقال: من شاء أن يصلي فليصل، »
Aku menyaksikan Mu’awiyah bin Abi Sufyan sedang bertanya kepada Zaid bin Arqam, “Apakah engkau menyaksikan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dua ‘Id bertepatan pada satu hari?” Zaid menjawab, “Ya.” Mu’awiyah bertanya lagi, “Bagaimana yang beliau lakukan?” Zaid menjawab, “Beliau mengerjakan shalat ‘Id kemudian memberikan rukhshah (keringanan) untuk shalat Jum’at. Beliau mengatakan, Barangsiapa yang hendak mengerjakan shalat (Jum’at), maka silakan mengerjakan shalat (Jum’at).” [1]
Juga berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya juga dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda :
« قد اجتمع في يومكم هذا عيدان، فمن شاء أجزأه من الجمعة، وإنا مجمعون »
Telah terkumpul pada hari kalian ini dua ‘Id. Barangsiapa yang mau maka itu sudah mencukupinya dari shalat Jum’at. Sesungguhnya kita memadukan (dua ‘id). [2]
Dalil-dalil tersebut menunjukkan bahwa rukhshah (keringanan) tersebut untuk shalat Jum’at bagi barangsiapa yang telah menunaikan shalat ‘Id pada hari tersebut.
Sekaligus diketahui bahwa tidak berlaku rukhshah bagi imam, karena sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits tersebut, “Sesungguhnya kita memadukan (dua ‘id).” Juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari shahabat An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma :
« أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يقرأ في صلاة الجمعة والعيد بسبح والغاشية، وربما اجتمعا في يوم فقرأ بهما فيهما »
“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dulu membaca dalam shalat Jum’at dan shalat ‘Id surat Sabbihis dan surat Al-Ghasyiyah. Terkadang dua ‘Id tersebut bertemu/bertepatan dalam satu hari, maka beliau membaca dua surat tersebut dalam dua shalat (”Id dan Jum’at).”
Barangsiapa yang tidak menghadiri shalat Jum’at bagi yang telah menunaikan shalat ‘Id, maka tetap wajib atasnya untuk shalat Zhuhur, berdasarkan keumuman dalil-dalil yang menunjukkan kewajiban shalat Zhuhur bagi yang tidak shalat Jum’at.
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.
Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhuts Al-‘Ilmiyyah wa Al-Ifta`
Ketua : ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz
Wakil Ketua : ‘Abdurrazzaq ‘Afifi
Anggota : ‘Abdullah bin Ghudayyan
Anggota : ‘Abdullah bin Qu’ud.
* * *
Adapun dalam fatwo 2140, Al-Lajnah menyatakan sebagai berikut :
Apabila ‘Id bertepatan dengan hari Jum’at, maka gugur kewajiban menghadiri shalat Jum’at bagi orang yang telah menunaikan shalat ‘Id. Kecuali bagi imam, kewajiban shalat Jum’at tidak gugur darinya. Terkecuali apabila memang tidak ada orang yang berkumpul/hadir (ke masjid) untuk shalat Jum’at.
Di antara yang berpendapat demikian adalah adalah : Al-Imam Asy-Sya’bi, Al-Imam An-Nakha’i, Al-Imam Al-Auza’i. Ini adalah madzhab shahabat ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, Sa’id, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, Ibnu Az-Zubair radhiyallahu ‘anhum dan para ‘ulama yang sependapat dengan mereka. … .
* * *
• Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah
Pertanyaan : Apa hukum shalat Jum’at jika bertepatan dengan hari ‘Id, apakah wajib menegakkannya atas seluruh kaum muslimin, ataukah hanya wajib atas sekelompok tertentu saja? Karena sebagian orang berkeyakinan bahwa apabila hari ‘Id bertepatan dengan hari Jum’at berarti tidak ada shalat shalat Jum’at.
Jawab : Tetap wajib atas imam dan khathib shalat Jum’at untuk menegakkan shalat Jum’at, hadir ke masjid, dan shalat berjama’ah mengimami orang-orang yang hadir di masjid. Karena dulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegakkan shalat Jum’at pada hari ‘Id, beliau ‘alahish shalatu was salam melaksanakan shalat ‘Id dan shalat Jum’at. Terkadang beliau dalam shalat ‘Id dan shalat Jum’at sama-sama membaca surat Sabbihisma dan surat Al-Ghasyiyah, sebagaimana dikatakan oleh shahabat An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma dalam riwayat yang shahih dari beliau dalam kitab Shahih (Muslim).
Namun bagi orang yang yang telah melaksanakan shalat ‘Id, boleh baginya untuk meninggalkan shalat Jum’at dan hanya melaksanakan shalat Zhuhur di rumahnya atau berjama’ah dengan beberapa orang saudaranya, apabila mereka semua telah melaksanakan shalat ‘Id.
Apabila dia melaksanakan shalat Jum’at berjama’ah maka itu afdhal (lebih utama) dan akmal (lebih sempurna). Namun apabila ia meninggalkan shalat Jum’at, karena ia telah melaksanakan shalat ‘Id, maka tidak mengapa, namun tetap wajib atasnya melaksanakan shalat Zhuhur, baik sendirian ataupun berjama’ah.
Wallahu Waliyyut Taufiq
(Majmu Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah XII/341-342)
* * *
Dalam fatwanya yang lain, ketika beliau mengingkari pendapat yang menyatakan bahwa jika ‘Id bertepatan dengan hari Jum’at, maka bagi orang yang telah melaksanakan shalat ‘Id gugur kewajiban shalat Jum’at dan shalat Zhuhur sekaligus, Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah mengatakan :
“Ini juga merupakan kesalahan yang sangat jelas. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan atas hamba-hamba- Nya shalat 5 waktu dalam sehari semalam, dan kaum muslimin telah berijma’ atas kewajiban tersebut. Yang kelima pada hari Jum’at adalah kewajiban shalat Jum’at. Hari ‘Id apabila bertepatan dengan hari Jum’at termasuk dalam kewajiban tersebut. Kalau seandainya kewajiban shalat Zhuhur gugur dari orang yang telah melaksanakan shalat ‘Id niscaya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan mengingatkan hal tersebut. Karena ini merupakan permasalahan yang tidak diketahui oleh umat. Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan rukhshah (keringanan) untuk meninggalkan shalat Jum’at bagi orang yang sudah melaksanakan shalat ‘Id dan tidak menyebutkan gugurnya kewajiban shalat Zhuhur, maka diketahui bahwa kewajiban (shalat Zhuhur) tersebut masih tetap berlaku. Berdasarkan hukum asal dan dalil-dalil syar’i, serta ijma’ (kaum muslimin) atas kewajiban shalat 5 waktu dalam sehari semalam.
Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap melaksanakan shalat Jum’at pada (hari yang bertepatan dengan) hari ‘Id, sebagaimana terdapat dalam hadits-hadits, di antaranya hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shahih-nya dari shahabat An-Nu’man bin Basyir :
« أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يقرأ في صلاة الجمعة والعيد بسبح والغاشية، وربما اجتمعا في يوم فقرأ بهما فيهما »
“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dulu membaca dalam shalat Jum’at dan shalat ‘Id surat Sabbihis dan surat Al-Ghasyiyah. Terkadang dua ‘Id tersebut bertemu/bertepatan dalam satu hari, maka beliau membaca dua surat tersebut dalam dua shalat (”Id dan Jum’at).”
Adapun apa yang diriwayatkan dari shahabat ‘Abdullah bin Az-Zubair bahwa beliau melaksanakan shalat ‘Id kemudian tidak keluar lagi baik untuk shalat Jum’at maupun shalat Zhuhur, maka itu dibawa pada kemungkinan bahwa beliau memajukan shalat Jum’at, dan mencukupkan dengan itu dari mengerjakan shalat ‘Id dan shalat Zhuhur. Atau pada kemungkinan bahwa beliau berkeyakinan bahwa imam pada hari tersebut memiliki hukum yang sama dengan yang lainnya, yaitu tidak wajib keluar untuk melaksanakan shalat Jum’at, namun beliau tetap shalat Zhuhur di rumahnya. Kemungkinan mana pun yang benar, kalau pun taruhlah yang benar dari perbuatan beliau bahwa beliau berpendapat gugurnya kewajiban shalat Jum’at dan Zhuhur yang sudah shalat ‘Id maka keumuman dalil-dalil syar’i, prinsip-prinsip yang diikuti, dan ijma’ yang ada bahwa wajib shalat Zhuhur atas siapayang tidak shalat Jum’at dari kalangan para mukallaf, itu semua lebih dikedepankan daripada apa yang diamalkan oleh Ibnu Az-Zubair radhiyallahu ‘anhu. … .
(Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah XXX/261-262)
* * *
• Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah :
Kenyataannya masalah ini terdapat perbedaan di kalangan ‘ulama rahimahumullah. Pendapat yang kuat, yang ditunjukkan oleh As-Sunnah, bahwa ….
Kita katakan, Apabila hari Jum’at bertepatan dengan ‘Id maka engkau wajib shalat ‘Id. Barangsiapa yang telah melaksanakan shalat ‘Id, maka bagi dia bebas memilih apakah dia mau hadir shalat Jum’at bersama imam, ataukah ia shalat Zhuhur di rumahnya.
Kedua, tetap wajib mengadakan shalat Jum’at di suatu negeri/daerah. Barangsiapa yang hadir maka dia shalat Jum’at, barangsiapa yang tidak hadir maka dia shalat Zhuhur di rumahnya.
Ketiga, pada hari itu shalat Zhuhur tidak dilaksanakan di masjid, karena yang wajib dilaksanakan adalah shalat Jum’at, sehingga tidak dilakukan shalat Zhuhur (di masjid).
Inilah pendapat yang kuat, yang ditunjukkan oleh dalil-dalil As-Sunnah.
(Fatawa Nur ‘ala Ad-Darb – Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin)
* * *
[1] HR. Ahmad (IV/372), Abu Dawud 1070, An-Nasa`i 1591, Ibnu Majah 1310. Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Madini, Al-Hakim, dan Adz-Dzahabi. Dishahihkan pula oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud – Al-Umm no. 981. (pent)
[2] HR. Abu Dawud 1073, Ibnu Majah 1311. dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud – Al-Umm no. 983.
Bangga Menjadi Ibu Rumah Tangga

Penulis: Ummu Ayyub
Muroja'ah: Ust Abu Ahmad

Hebat rasanya ketika mendengar ada seorang wanita lulusan sebuah universitas ternama telah bekerja di sebuah perusahaan bonafit dengan gaji jutaan rupiah per bulan. Belum lagi perusahaan sering menugaskan wanita tersebut terbang ke luar negri untuk menyelesaikan urusan perusahaan. Tergambar seolah kesuksesan telah dia raih. Benar seperti itukah?

Kebanyakan orang akan beranggapan demikian. Sesuatu dikatakan sukses lebih dinilai dari segi materi sehingga jika ada sesuatu yang tidak memberi nilai materi akan dianggap remeh. Cara pandang yang demikian membuat banyak dari wanita muslimah bergeser dari fitrohnya. Berpandangan bahwa sekarang sudah saatnya wanita tidak hanya tinggal di rumah menjadi ibu, tapi sekarang saatnya wanita `menunjukkan eksistensi diri' di luar. Menggambarkan seolah-olah tinggal di rumah menjadi seorang ibu adalah hal yang rendah.

Kita bisa dapati ketika seorang ibu rumah tangga ditanya teman lama "Sekarang kerja dimana?" rasanya terasa berat untuk menjawab, berusaha mengalihkan pembicaraan atau menjawab dengan suara lirih sambil tertunduk "Saya adalah ibu rumah tangga". Rasanya malu! Apalagi jika teman lama yang menanyakan itu "sukses" berkarir di sebuah perusahaan besar. Atau kita bisa dapati ketika ada seorang muslimah lulusan universitas ternama dengan prestasi bagus atau bahkan berpredikat cumlaude hendak berkhidmat di rumah menjadi seorang istri dan ibu bagi anak-anak, dia harus berhadapan dengan "nasehat" dari bapak tercintanya: "Putriku! Kamu kan sudah sarjana, cumlaude lagi! Sayang kalau cuma di rumah saja ngurus suami dan anak." Padahal, putri tercintanya hendak berkhidmat dengan sesuatu yang mulia, yaitu sesuatu yang memang menjadi tanggung jawabnya. Disana ia ingin mencari surga.



Ibu Sebagai Seorang Pendidik



Syaikh Muhammad bin Shalih al `Utsaimin rahimahullah mengatakan bahwa perbaikan masyarakat bisa dilakukan dengan dua cara: Pertama, perbaikan secara lahiriah, yaitu perbaikan yang berlangsung di pasar, masjid, dan berbagai urusan lahiriah lainnya. Hal ini banyak didominasi kaum lelaki, karena merekalah yang sering nampak dan keluar rumah. Kedua, perbaikan masyarakat di balik layar, yaitu perbaikan yang dilakukan di dalam rumah. Sebagian besar peran ini diserahkan pada kaum wanita sebab wanita merupakan pengurus rumah. Hal ini sebagaimana difirmankan Allah subhanahu wa ta'ala yang artinya:

"Dan hendaklah kalian tetap di rumah kalian dan janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa kalian, hai Ahlul Bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. " (QS. Al-Ahzab: 33)

Pertumbuhan generasi suatu bangsa adalah pertama kali berada di buaian para ibu. Ini berarti seorang ibu telah mengambil jatah yang besar dalam pembentukan pribadi sebuah generasi. Ini adalah tugas yang besar! Mengajari mereka kalimat Laa Ilaaha Illallah, menancapkan tauhid ke dada-dada mereka, menanamkan kecintaan pada Al Quran dan As Sunah sebagai pedoman hidup, kecintaan pada ilmu, kecintaan pada Al Haq, mengajari mereka bagaimana beribadah pada Allah yang telah menciptakan mereka, mengajari mereka akhlak-akhlak mulia, mengajari mereka bagaimana menjadi pemberani tapi tidak sombong, mengajari mereka untuk bersyukur, mengajari bersabar, mengajari mereka arti disiplin, tanggung jawab, mengajari mereka rasa empati, menghargai orang lain, memaafkan, dan masih banyak lagi. Termasuk di dalamnya hal yang menurut banyak orang dianggap sebagai sesuatu yang kecil dan remeh, seperti mengajarkan pada anak adab ke kamar mandi. Bukan hanya sekedar supaya anak tau bahwa masuk kamar mandi itu dengan kaki kiri, tapi bagaimana supaya hal semacam itu bisa menjadi kebiasaan yang lekat padanya. Butuh ketelatenan dan kesabaran untuk membiasakannya.

Sebuah Tanggung Jawab

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya:

"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan- Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. " (QS. At Tahrim: 6)

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala yang artinya: "Peliharalah dirimu dan keluargamu!" di atas menggunakan Fi'il Amr (kata kerja perintah) yang menunjukkan bahwa hukumnya wajib. Oleh karena itu semua kaum muslimin yang mempunyai keluarga wajib menyelamatkan diri dan keluarga dari bahaya api neraka.

Tentang Surat At Tahrim ayat ke-6 ini, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu `anhu berkata, "Ajarkan kebaikan kepada dirimu dan keluargamu." (Diriwayatkan oleh Al Hakim dalam Mustadrak-nya (IV/494), dan ia mengatakan hadist ini shahih berdasarkan syarat Bukhari dan Muslim, sekalipun keduanya tidak mengeluarkannya)

Muqatil mengatakan bahwa maksud ayat tersebut adalah, setiap muslim harus mendidik diri dan keluarganya dengan cara memerintahkan mereka untuk mengerjakan kebaikan dan melarang mereka dari perbuatan maksiat.

Ibnu Qoyyim menjelaskan bahwa beberapa ulama mengatakan bahwa Allah subhanahu wa ta'ala akan meminta pertanggungjawaban setiap orang tua tentang anaknya pada hari kiamat sebelum si anak sendiri meminta pertanggungjawaban orang tuanya. Sebagaimana seorang ayah itu mempunyai hak atas anaknya, maka anak pun mempunyai hak atas ayahnya. Jika Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, "Kami wajibkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya." (QS. Al Ankabut: 7), maka disamping itu Allah juga berfirman, "Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang berbahan bakar manusia dan batu." (QS. At Tahrim: 6)

Ibnu Qoyyim selanjutnya menjelaskan bahwa barang siapa yang mengabaikan pendidikan anaknya dalam hal-hal yang bermanfaat baginya, lalu ia membiarkan begitu saja, berarti telah melakukan kesalahan besar. Mayoritas penyebab kerusakan anak adalah akibat orang tua yang acuh tak acuh terhadap anak mereka, tidak mau mengajarkan kewajiban dan sunnah agama. Mereka menyia-nyiakan anak ketika masih kecil sehingga mereka tidak bisa mengambil keuntungan dari anak mereka ketika dewasa, sang anak pun tidak bisa menjadi anak yang bermanfaat bagi ayahnya.

Adapun dalil yang lain diantaranya adalah firman Allah subhanahu wa ta'ala yang artinya:

"dan berilah peringatan kepada kerabatmu yang dekat." (QS asy Syu'ara': 214)

Abdullah bin Umar radhiyallahu `anhuma mengatakan bahwa Rasulullah shalallahu `alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), "Kaum lelaki adalah pemimpin bagi keluarganya di rumah, dia bertanggung jawab atas keluarganya. Wanita pun pemimpin yang mengurusi rumah suami dan anak-anaknya. Dia pun bertanggung jawab atas diri mereka. Budak seorang pria pun jadi pemimpin mengurusi harta tuannya, dia pun bertanggung jawab atas kepengurusannya. Kalian semua adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya. " (HR. Bukhari 2/91)

Dari keterangan di atas, nampak jelas bahwa setiap insan yang ada hubungan keluarga dan kerabat hendaknya saling bekerja sama, saling menasehati dan turut mendidik keluarga. Utamanya orang tua kepada anak, karena mereka sangat membutuhkan bimbingannya. Orang tua hendaknya memelihara fitrah anak agar tidak kena noda syirik dan dosa-dosa lainnya. Ini adalah tanggung jawab yang besar yang kita akan dimintai pertanggungjawaban tentangnya.

Siapa Menanam, Dia akan Menuai Benih

Bagaimana hati seorang ibu melihat anak-anaknya tumbuh? Ketika tabungan anak kita yang usia 5 tahun mulai menumpuk, "Mau untuk apa nak, tabungannya? " Mata rasanya haru ketika seketika anak menjawab "Mau buat beli CD murotal, Mi!" padahal anak-anak lain kebanyakan akan menjawab "Mau buat beli PS!" Atau ketika ditanya tentang cita-cita, "Adek pengen jadi ulama!" Haru! mendengar jawaban ini dari seorang anak tatkala ana-anak seusianya bermimpi "pengen jadi Superman!"

Jiwa seperti ini bagaimana membentuknya? Butuh seorang pendidik yang ulet dan telaten. Bersungguh-sungguh, dengan tekad yang kuat. Seorang yang sabar untuk setiap hari menempa dengan dibekali ilmu yang kuat. Penuh dengan tawakal dan bergantung pada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Lalu… jika seperti ini, bisakah kita begitu saja menitipkannya pada pembantu atau membiarkan anak tumbuh begitu saja?? Kita sama-sama tau lingkungan kita bagaimana (TV, media, masyarakat,…) Siapa lagi kalau bukan kita, wahai para ibu -atau calon ibu-?

Setelah kita memahami besarnya peran dan tanggung jawab seorang ibu sebagai seorang pendidik, melihat realita yang ada sekarang sepertinya keadaannya menyedihkan! Tidak semua memang, tapi banyak dari para ibu yang mereka sibuk bekerja dan tidak memperhatikan bagaimana pendidikan anak mereka. Tidak memperhatikan bagaimana aqidah mereka, apakah terkotori dengan syirik atau tidak. Bagaimana ibadah mereka, apakah sholat mereka telah benar atau tidak, atau bahkan malah tidak mengerjakannya… Bagaimana mungkin pekerjaan menancapkan tauhid di dada-dada generasi muslim bisa dibandingkan dengan gaji jutaan rupiah di perusahaan bonafit? Sungguh! sangat jauh perbandingannya.

Anehnya lagi, banyak ibu-ibu yang sebenarnya tinggal di rumah namun tidak juga mereka memperhatikan pendidikan anaknya, bagaimana kepribadian anak mereka dibentuk. Penulis sempat sebentar tinggal di daerah yang sebagian besar ibu-ibu nya menetap di rumah tapi sangat acuh dengan pendidikan anak-anak mereka. Membesarkan anak seolah hanya sekedar memberinya makan. Sedih!

Padahal anak adalah investasi bagi orang tua di dunia dan akhirat! Setiap upaya yang kita lakukan demi mendidiknya dengan ikhlas adalah suatu kebajikan. Setiap kebajikan akan mendapat balasan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Tidak inginkah hari kita terisi dengannya? Atau memang yang kita inginkan adalah kesuksesan karir anak kita, meraih hidup yang berkecukupan, cukup untuk membeli rumah mewah, cukup untuk membeli mobil mentereng, cukup untuk membayar 10 pembantu, mempunyai keluarga yang bahagia, berakhir pekan di villa. Tanpa memperhatikan bagaimana aqidah, bagaimana ibadah, asal tidak bertengkar dan bisa senyum dan tertawa ria di rumah, disebutlah itu dengan bahagia.

Ketika usia senja, mata mulai rabun, tulang mulai rapuh, atau bahkan tubuh ini hanya mampu berbaring dan tak bisa bangkit dari ranjang untuk sekedar berjalan. Siapa yang mau mengurus kita kalau kita tidak pernah mendidik anak-anak kita? Bukankah mereka sedang sibuk dengan karir mereka yang dulu pernah kita banggakan, atau mungkin sedang asik dengan istri dan anak-anak mereka?

Ketika malaikat maut telah datang, ketika jasad telah dimasukkan ke kubur, ketika diri sangat membutuhkan doa padahal pada hari itu diri ini sudah tidak mampu berbuat banyak karena pintu amal telah ditutup, siapakah yang mendoakan kita kalau kita tidak pernah mengajari anak-anak kita?

Lalu…

Masihkah kita mengatakan jabatan ibu rumah tangga dengan kata `cuma'? dengan tertunduk dan suara lirih karena malu?

Wallahu a'lam

Maroji':

1. Dapatkan Hak-Hakmu, Wahai Muslimah oleh Ummu Salamah as Salafiyyah. Judul asli: Al-Intishaar li Huquuqil Mu'minaat
2. Mendidik Anak bersama Nabi oleh Muhammad Nur Abdul Hafizh Suwaid. Judul Asli: Manhaj At-Tarbiyyah An-Nabawiyyah lit-Thifl
3. Majalah Al Furqon Edisi: 8 Tahun V/Rabi'ul Awwal 1427/April 2006

ps : Idealisme normatif atau realistiskah ditengah kejamnya fitnah dunia ini, bagai buah simalakama


Post

Kewajiban Wanita Nifas Pada Akhir Masa Nifas, Jika Darah Nifas Berubah Menjadi Cairan Lain

Jumat, 19 Januari 2007 00:59:51 WIB

KEWAJIBAN WANITA NIFAS PADA AKHIR MASA NIFAS


Oleh
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan




Pertanyaan
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan ditanya : Tentang yang wajib dilakukan oleh wanita nifas pada saat akhir masa nifasnya?

Jawaban
Wajib baginya untuk mandi sebagaimana diwajibkannya terhadap wanita yang telah habis masa haidhnya, dalil yang menunjukkan pada hal tersebut adalah.

[1]. Dari Ummu Salamah Radhiyallahu ‘anha, ia berkata : Wanita-wanita yang mengalami nifas pada zaman Rasulullah adalah empat puluh hari.

[2]. Dari Ummu Salamah Radhyallahu ‘anha, ia berkata : Seorang wanita di antara isteri-isteri nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk (tidak mengerjakan shalat) saat nifasnya selama empat puluh hari, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkannya untuk mengqadha shalat di masa nifas itu.

[At-Tanbihat, Syaikh Al-Fauzan, hal. 19]

DARAH NIFAS BERHENTI KEMUDIAN KEMBALI LAGI SETELAH EMPAT PULUH HARI


Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin


Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Seorang wanita telah berhenti masa nifasnya, lima hari sebelum mencapai hari keempat puluh, maka ia melaksanakan shalat dan puasa, kemudian setelah empat puluh hari, darah nifas itu kembali mengalir lagi, bagaimana hukumnya?

Jawaban
Jika wanita nifas telah mendapatkan kesuciannya sebelum empat puluh hari, maka wajib baginya untuk melaksanakan shalat dan puasa jika hal itu terjadi di bulan Ramadhan dan bagi suaminya dibolehkan untuk menyetubuhinya walaupun belum mencapai empat puluh hari, dan wanita yang telah mendapatkan kesuciannya pada hari ketiga puluh lima dari saat persallinannya ini wajib melaksanakan puasa dan shalat sebagaimana biasanya, lalu jika darah nifas itu kembali mengalir setelah empat puluh hari, maka darah yang keluar itu dianggap darah haidh, kecuali jika keluarnya darah itu diluar masa haid yang biasa ia alami, maka ia hanya meninggalkan shalat selama waktu yang biasanya ia mendapatakan masa haidh saja kemudian setelah itu ia harus mandi dan melaksanakan shalat sebagaimana biasanya.

[Majmu Fatawa wa Rasa’il Asy-Stayikh Ibnu Utsaimin 4/289]

JIKA DARAH NIFAS BERUBAH MENJADI CAIRAN LAIN

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Seorang wanita mengeluarkan darah nifas selama dua minggu kemudian darah itu secara bertahap berubah menjadi cairan yang agak kental (lendir) kekuning-kuningan dan hal itu terus terjadi hingga mendekati penghujung hari keempat puluh, apakah keluarnya lendir ini yang menyusul darah nifas ini dikenakan hukum sebagaimana hukumnya nifas atau tidak ?

Jawaban
Cairan ini yang berwarna kekuning-kuningan atau cairan seperti lendir, selama belum nampak kesucian yang jelas dan nyata maka hukum cairan itu dikategorikan sebagai darah nifas, dengan demikian wanita itu belum dikatakan suci sebelum terhentinya aliran cairan berwarna kekuning-kuningan ini, jika cairan ini berhenti dan ia telah mendapatkan kesuciannya yang jelas dan nyata, maka wajib baginya untuk mandi, shalat dan puasa walaupun kesucian itu ia dapatkan sebelum empat puluh hari.

Adapun masalah yang diduga oleh sebagian wanita, bahwa seorang wanita harus tetap meninggalkan shalat hingga mencapai empat puluh hari, walaupun ia telah mendapatkan kesuciannya sebelum empat puluh hari itu, adalah dugaan yang salah dan tidak benar. Yang benar adalah ; jika seorang wanita telah mendapatkan kesuciannya maka wajib baginya untuk shalat sebagaimana wanita-wanita suci lainnya, walaupun kesucian itu didapati pada hari kesepuluh setelah masa persalinan.

[Majmu Fatawa wa Rasa’il Asy-Stayikh Ibnu Utsaimin 4/281]

[Disalin dari Kitab Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wajan, Penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin, Penerbit Darul Haq]



Sumber dari :Al Manhaj.or.id

Go HOME, please....


Post

Masa NIfas

Tanya:

Begini Pak Ustadz,
Istri saya baru saja melahirkan..sampai sekarang sudah 55 hari..harusnya khan sudah lewat massa nifas. Tapi setelah saya tanya, sewaktu saya cuti kira-kira seinggu lalu, katanya darah masih keluar sedikit-sedikit dan jarang. Maksud saya kalau sudah selesai masa nifas, ya, segera mulai salat. Setelah istri saya mengatakan bahwa masih keluar darah sedikit. Saya belum berani menyuruh salat. Selain itu saya juga bertanya pada dokter muslim, berapa masanya untuk nifas. Beliau mengatakan 40 hari. Jika setelah itu masih keluar darah sedikit-sedikit tidak harus nunggu sampai bersih benar, kalau mau nunggu bersih benar kapan mulainya salat.

Bagaimana menurut Pak Ustadz. Saya minta penjelasan. Terimakasih sebelumnya.

Sumarsana - Kalteng


Jawab:

Sdr. Sumarsana,
Masa nifas menurut mazhab Maliki dan Syafi'e adalah 60 hari. Sedangkan menurut mazhab Hanafi dan Hanbali adalah 40 hari dengan berlandaskan riwayat Umi Salamah: "Bahwa wanita pada zaman Rasulullah saw menjalani masa nifas selama 40 hari 40 malam"(Riwayat Abu Dawud, Tirmizi dll).

Sebaiknya setelah 60 hari, isteri Saudara harus sudah mulai salat, meskipun masih mengeluarkan darah, karena itu bukan darah nifas lagi, namun darah istihadhah. Wanita yang mengalami hal demikian tetap wajib menjalankan salat dan puasa. Hanya saja disunatkan baginya untuk mandi setiap kali mau menjalankan salat fardlu, di samping mengambil wudlu. Walahu a'lam.

Muhammad Niam



Copyright PesantrenVirtual.com.


Post

Berapa Lama Masa Nifas dan Masa Haid

Oleh: Asy-Syaikh Muqbil bin Hâdî Al-Wâdi‘î rahimahullâh

Soal:

Syaikh yang mulia, kami mohon fatwanya, semoga anda memperoleh ganjaran pahala. Berapa lama berlangsungnya masa nifas, sehingga dia bisa (kembali) shalat? Demikian juga (berlangsungnya) masa haid?

Asy-Syaikh menjawab:

Wanita dalam keadaan nifas sampai darah nifas tidak lagi keluar, kemudian ia (harus) mandi besar dan melaksanakan shalat. Kondisi wanita satu sama lainnya berbeda. Di antara mereka ada yang darahnya berhenti dalam selang waktu satu pekan pasca persalinan. Di antara mereka ada yang terhenti darahnya dalam selang waktu 25 hari. Bisa jadi di antara mereka ada yang terhenti darah nifasnya setelah 40 hari atau 60 hari jika melihat darah telah berhenti. Bahkan di antara mereka ada yang tidak melihat darah sama sekali. ‘Aisyah pernah ditanya ihwal seorang wanita yang nifas, lalu ia tidak melihat darah, beliau berkata: “Allah telah membersihkan (darah)nya.” Bila darah nifas telah berhenti walaupun hanya satu hari atau selama 60 hari, maka ia wajib mandi besar dan melaksanakan shalat. Demikianpula bila waktu ini bulan Ramadhan, maka ia harus berpuasa. Demikian juga dengan wanita yang sedang haid. Karena wanita lebih mengetahui ihwal haidnya. Boleh jadi di antara mereka ada yang haid hanya selama satu hari. Di antara mereka ada haid selama dua hari, atau tiga hari sampai tujuh hari, 15 hari dan ia masih mengeluarkan darah haid selama beberapa waktu. Hanya saja, jika darah itu terus keluar, maka darah yang keluar itu dinamakan darah istihadhah. Ia merujuk pada kebiasaan masa haidnya -jika ia memang mempunyai kebiasaan haid sebelum ia mengalami sakit tersebut. Sebab hal itu telah berubah menjadi penyakit, bukan darah haid. Jika kebiasaan masa haidnya -sebelum ia menderita penyakit itu- adalah tujuh hari, maka masa haidnya adalah tujuh hari. Apabila ia tidak memiliki rutinitas jadwal haid maka ia bisa mengamati warna darahnya. Darah haid warnanya hitam, dapat diketahui dengan baunya yang amis. Jika darah itu berwarna hitam dan mengeluarkan bau amis, maka darah itu dianggap darah haid. Setelah itu ia (harus) menunaikan shalat, puasa dan suaminya boleh menggaulinya, sebab ia dianggap sedang mengalami istihadhah. Apabia ia belum memiliki rutinitas jadwal haid maka itu adalh fase pendahuluan. Apabila ia masih belia dan masih baru pertama kali mengalami istihadhah sementara ia belum memiliki rutinitas masa haidh, darah (yang keluar pun) belum bisa dibedakan, maka ia merujuk pada rutinitas masa haid saudara-saudara perempuan, ibu dan sanak familinya, sehingga ia dapat mengetahui berapa lama berlangsungnya masa haid mereka. Boleh jadi rutinitas masa haid saudara-saudara perempuan dan sanak family memiliki keserupaan. Wallâhul Musta’ân. Ia wajib berusaha secara optimal dalam masalah ini. Adapun jika itu hanya haid saja, maka berlangsungnya masa haid adalah keluarnya darah. Sepatutnya, dia tidak tergesa-gesa dan ia tidak lantas mandi besar, kecuali jika ia telah benar-benar melihat lendir berwarna putih. Dalam kesempatan ini ada suatu hal yang ingin saya beri catatan, yaitu sebagian wanita mandi besar dan bersuci, kemudian tahu-tahu ada darah yang kembali keluar. Jika darah yang keluar itu menyerupai sifat-sifat darah haid, maka itu adalah darah haid. Jika yang keluar itu hanya berupa air yang berwarna kekuning-kuningan dan sangat keruh, dan keluarnya darah tersebut di luar waktu haid, (dalam hal ini) Ummu Athiyah berkata: “Dulu kami tidak menganggap darah bercampur nanah dan darah kotor termasuk darah haid.” Al-Kadr (air yang sangat keruh) adalah seperti air bercampur darah yang keluar dari vagina. Apabila cairan itu keluar pada siklus haid, maka cairan itu dianggap darah haidh. Jika darah itu keluar di luar siklus haid, maka darah itu tidak dianggap apa-apa (bukan darah haid). (Ijaabatu as-Saail, Soal No. 353)

Sumber: إجابة السائل karya Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi‘i. Edisi Indonesia: Asy-Syaikh Muqbil Menjawab Masalah Wanita, hal. 197-200. Penerjemah: Abu ‘Abdillah Salim. Editor: Abu Faruq Ayip Syafruddin. Penerbit: Penerbit An Najiyah Surakarta, cet. ke-1. Dinukil untuk http://akhwat.web.id. Silakan mengcopy dan memperbanyak dengan menyertakan sumbernya.